Kamis, 04 Oktober 2007

MEnyempurnakan Ikhlas

Berhati-hatilah bagi orang-orang yang ibadahnya temporal, karena bisa jadi perbuatan tersebut merupakan tanda-tanda keikhlasannya belum sempurna. Karena aktivitas ibadah yang dilakukan secara temporal tiada lain, ukurannya adalah urusan duniawi. Ia hanya akan dilakukan kalau sedang butuh, sedang dilanda musibah, atau sedang disempitkan oleh ujian dan kesusahan, jadi meningkatlah amal ibadahnya. Tidak demikian halnya ketika pertolongan Allah datang, kemudahan menghampiri, kesenangan berdatangan, justru kemampuan bersenang-senangnya bersama Allah malah menghilang.

Bagi yang amalnya temporal, ketika menjelang pernikahan saja tiba-tiba saja ibadahnya meningkat, shalat wajib tepat waktu, tahajud nampak khusyu tapi anehnya ketika sudah menikah, jangankan tahajud, shalat subuh pun terlambat. Ini perbuatan yang memalukan. Sudah diberi kesenangan, justru malah melalaikan perintah-Nya. Harusnya sesudah manikah berusaha lebih gigih lagi dalam ber-taqarub kepada Allah sebagai bentuk ingkapan rasa syukur. Ketika berwudhu, misalnya ternyata disamping ada seorang ulama yang cukup terkenal dan disegani, wudhu kita pun secara sadar atau tidak tiba-tiba dibagus-baguskan. Lain lagi ketika tidak ada siapa pun yang melihat, wudhu kitapun kembali dilakukan dengan seadanya dan lebih dipercepat.

Atau ketika menjadi imam shalat, bacaan Qur’an kita kadangkala digetar-getarkan atau disedih-sedihkan agar orang lain ikut sedih. Tapi sebaliknya ketika shalat sendiri, shalat kita menjadi kilat, padat dan cepat. Kalau shalat sendirian dia begitu gesit, tapi kalau ada orang lain jadi kelihatan bagus. Hati-hatilah bisa jadi ada sesuatu dibalik ketidak-ikhlasannya ibadah-ibadah kita ini. Karenanya kalau melihat amal-amal yang kita lakukan jadi melemah kualitas dan kuantitasnya ketika diberi kesenangan, maka itulah tanda bahwa kita kurang ikhlas dalam beramal.

Hal ini berbeda dengan hamba-hamba-Nya yang telah menggapai maqam ikhlas, maqam dimana seorang hamba mampu beribadah secara istiqomah dan terus-menerus berkesinambungan. Ketika diberi kesusahan, dia akan segera saja bersimpuh sujud merindukan pertolongan Allah. Sedangkan ketika diberi kelapangan dan kesenangan yang lebih lagi, justru dia semakin bersimpuh dan bersyukur lagi atas nikmat-Nya ini. Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas beramalnya dalam kondisi ada atau tidak ada orang yang memperhatikan adalah sama saja. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru akan dilakukan lebih bagus ketika ada orang lain memperhatikannya, apalagi bila orang tersebut dihormati dan disegani.

Sungguh suatu keberuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang ikhlas ini. Betapa tidak ? Orang-orang ikhlas akan senantiasa dianugerahi pahala, bahkan bagi orang-orang ikhlas, amal-amal mubah pun pahalanya akan berubah jadi pahala amalan sunah atau wajib. Hal ini akibat niatnya yang bagus. Berkaitan dengan niat ini seorang ulama ahli hikmah berkata, “Terkadang amal yang sedikit menjadi ba nyak oleh sebab niat, dan sebaliknya kadangkala amal yang banyak menjadi sedikit hasilnya, juga karena niat !”.
Pantaslah bila Yahya bin Abi Katsir menganjurkan kepada kita untuk senantiasa mempelajari dan mengetahui akan pentingnya niat ini dalam beramal, dia berkata, “Pelajarilah niat, karena ia lebih menyampaikan kepada tujuan ketimbang amal”.

Rasulullah SAW sendiri menasihatkan kepada kita, “Bahwa sesungguhnya amal itu tergantung kepada niatnya, dan bagi seseorang adalah apa yang ia niatkan. Maka, barangsiapa yang niat hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu adalah kepada apa yang ditujunya.” (H.R Bukhari)

Maka, bagi orang-orang yang ikhlas, dia tidak akan melakukan sesuatu kecuali ia kemas niatnya lurus kepada Allah saja. Kalau hendak duduk di kursi diucapkannya, “Bismillahirrahmanirrahiim, ya Allah semoga aktivitas duduk ini menjadi amal kebaikan”. Lisannya yang bening senantiasa memuji Allah atas nikmatnya berupa karunia bisa duduk sehingga ia dapat beristirahat menghilangkan kepenatan.

Jadilah aktivitas duduk ini sarana taqarrub kepada Allah. Karena banyak pula orang yang melakukan aktivitas duduk, namun tidak mendapatkan pertambahan nilai apapun, selain menaruh (maaf !) pantat dikursi. Tidak usah heran bila suatu saat Allah memberi peringatan dengan sakit ambeien atau bisul, sekedar kenang-kenangan bahwa aktivitas duduk adalah anugerah nikmat yang Allah ‘karuniakan’ kepada kita.

Begitupun ketika makan, sempurnakan niat dalam hati, sebab sudah seharusnya di lubuk hati yang paling dalam kita meyakini bahwa Allah-lah yang memberi makan tiap hari, tiada satu hari pun yang luput dari limpahan curahan nikmatnya. Kalau membeli sesuatu, diperhitungkan juga bahwa apa yang dibeli diniatkan karena Allah. Ketika membeli kendaraan, niatkan karena Allah. Karena menurut Rasulullah SAW, kendaraan itu ada 3 jenis, 1) Kendaraan untuk Alah 2) Kendaraan untuk syetan 3) Kendaraan untuk dirinya sendiri. Apa cirinya ? Kalau niatnya benar, dipakai untuk maslahat ibadah, maslahat agama, maka inilah kendaraan untuk Allah.

Tapi kalau sekedar untuk pamer, riya, ujub maka inilah kendaraan untuk syetan. Sedangkan kendaraan untuk dirinya sendiri, misalkan kuda dipelihara, dikembang-biakan dipakai tanpa niat, maka inilah kendaraan untuk dirinya sendiri. Pastikan bahwa jikalau kita membeli kendaraan, niat kita tiada lain hanyalah karena Allah. Karenanya bermohon saja kepada Allah, “Ya Allah saya butuh kendaraan yang layak, yang bisa meringankan untuk menuntut ilmu, yang bisa meringankan untuk berbuat amal, yang bisa meringankan dalam menjaga amanah”.

Subhanallah bagi orang yang telah meniatkan seperti ini, maka bensinnya, tempat duduknya, shock breaker-nya dan semuanya dari kendaraan itu ada dalam timbangan kebaikan, insya Allah. sebaliknya jika digunakan untuk maksiat, maka kita jugalah yang akan menanggung balasan dosanya.

Kedahsyatan lain dari seorang hamba yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal, walaupun sebenarnya belum menyempurnakan amalnya, bahkan belum mengamalkannya. Inilah istimewanya amalan orang yang ikhlas. Suatu saat, misalkan, hati sudah bulat meniatkan mau bangun malam untuk tahajud, “Ya Allah saya ingin tahajud jam 03.30 ya Allah”. Weker pun diputar, istri diberitahu. Berdoa dan tidurlah ia dengan tekad bulat akan bangun tahajud. Sayangnya ketika terbangun ternyata sudah azan subuh. Bagi hamba yang ikhlas, justru dia akan gembira bercampur sedih.

Sedih karena tidak kebagian shalat tahajud dan gembira karena masih kebagian pahalanya. Bagi yang sudah berniat untuk tahajud dan tidak dibangunkan oleh Allah, maka kalau ia sudah bertekad, Allah pasti akan memberikan pahalanya. Mungkin Allah tahu, hari-hari yang kita lalui akan menguras tenaga. Allah Mahatahu apa yang akan terjadi, Allah juga Mahatahu bahwa kita mungkin telah defisit energi karena kesibukan kita terlalu banyak. Hanya Allah-lah yang menidurkan kita dengan pulas.

Sungguh apapun amal yang dilakukan seorang hamba yang ikhlas akan tetap bermakna, akan tetap bernilai, dan akan tetap mendapatkan balasan pahala yang setimpal. Subhanallah.

Tidak ada komentar: